Selasa, 19 April 2022

Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris

 

Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris

Description: 7 Karyawan Sekolah di Inggris Positif COVID-19 Usai Sekolah Kembali Dibuka  - Pikiran-Rakyat.com

 

Ikhtisar Sistem Pendidikan di Inggris

Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara (United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland) atau sering disebut “Inggris” memiliki empat negara bagian, yaitu; Inggris (England), Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Setiap negara bagian memiliki sistem pemerintahan yang berbeda. Pengawasan pendidikan di Inggris di tingkat nasional berada di bawah Departemen Pendidikan (Department for Education). Sama halnya seperti Indonesia, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pendidikan di daerah masing-masing. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika praktik pendidikan antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya memiliki perbedaan. Pemerintah Inggris memberlakukan program wajib belajar nasional. Berdasarkan Undang-Undang Pendidikan tahun 1996, orangtua atau wali di negara bagian Inggris diwajibkan untuk memastikan bahwa setiap anak berusia lima hingga enam belas tahun mendapatkan pendidikan. Orangtua atau wali yang tidak mengikuti peraturan ini akan mendapati sanksi seperti kurungan penjara tiga bulan dan /atau denda £1000. Usia wajib belajar ini mencakup jenjang pendidikan dasar (primary school) dan jenjang pendidikan menengah (secondary school) tingkat awal.

1. Pendidikan pra-dasar (pre-school)

Pendidikan pra-dasar diikuti oleh peserta didik berusia di bawah 5 tahun. Adapun pembelajaran dilakukan dengan cara bermain. Area pembelajaran meliputi bahasa dan komunikasi, perkembangan fisik, perkembangan pribadi, sosial dan emosional, literasi, matematika, pemahaman tentang dunia, seni dan rupa (Gov.Uk, n.d(a)).

 

 

 

2. Pendidikan dasar (primary school)

Pendidikan dasar diikuti oleh peserta didik berusia 4–11 tahun dan berlangsung selama tujuh tahun. Ada duaKey Stage di tingkat ini yaitu Key Stage 1 (untuk tahun pertama dan kedua) serta Key Stage 2 (untuk tahun ketiga hingga kelima).

3. Pendidikan menengah (secondary school)

 Pendidikan menengah berlangsung selama lima hingga tujuh tahun. Peserta didik pendidikan menengah tingkat pertama berusia 11–16 tahun. Ada dua Key Stage yaitu Key Stage 3 (untuk tahun ketujuh hingga kesembilan) dan Key Stage 4 (untuk tahun kesepuluh hingga kesebelas).

4. Pendidikan tinggi (higher education)

Pendidikan tinggi diikuti oleh mahasiswa berusia di atas 18 tahun. Ada tiga jenjang yang dapat ditempuh yaitu S1 (undergraduate) yang berdurasi tiga tahun, S2 (Master) yang biasanya berdurasi satu tahun, dan S3 (PhD.) yang berdurasi minimal tiga tahun.

Di negara bagian Inggris, tipe sekolah dapat dilihat berdasarkan sumber pendanaan dan pengelolaan sekolah. Berikut adalah beberapa tipe sekolah di negara bagian Inggris:

Oval: 3. University Technical Colleges (UTC)Oval: 2. Free SchoolOval: 1. State  SchoolOval: 7. Sixth-form CollegesOval: 6. Public SchoolOval: 5. AcademyOval: 4. Grammar School 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perkembangan Konsep dan Implementasi Pendidikan Vokasi dan Sistem Sertifikasi di Inggris

Kebijakan pendidikan vokasi dan sistem sertifikasi di Inggris tidak lepas dari dinamika perubahan. Pada era 1970-an, Badan nasional tenaga kerja (Manpower Services Commission) membentuk skema Youth Training Scheme (YTS) yang dibentuk untuk menyelaraskan outcome sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja (Winch & Hyland, 2007). Program ini memberikan kesempatan bagi para lulusan sekolah kejuruan yang menganggur untuk menghadapi bursa tenaga kerja (Young, 2011).

Pada tahun 1993 pemerintah Inggris merilis program Modern Apprenticeship (MA) atau program magang untuk diintegrasikan dengan skema pendidikan vokasi usia 16 hingga 19 tahun guna memperoleh sertifikasi keahlian NVQ Level 3 (Winch & Hyland, 2007, p. 25). Kebijakan MA ini kemudian terus berkembang sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja sehingga pada tahun 2001 muncul kebijakan Foundation Modern Apprenticeship (FMA) untuk Level 2 dan Advanced Modern Apprenticeship (AMA) untuk Level 3 (ibid., p.28). Tahun 1990– 2000-an secara umum dikenal tiga sistem sertifikasi yang pernah berlaku di negara Inggris dan Irlandia Utara (Hayward, 1995; Raggatt & Williams, 1999; Winch & Hyland, 2007), yaitu National Vocational Qualifications (NVQs) yang diterapkan di negara bagian Inggris, Wales, dan Northern Ireland, General National Vocational Qualifications (GNVQs) yang dipakai di negara bagian Wales dan Inggris, serta Scottish Vocational Qualification (SQVs) yang diterapkan di negara bagian Skotlandia. GNVQs bersifat lebih umum daripada NVQS. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, tiap negara bagian dari Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara memiliki kewenangan masing-masing untuk pengambilan kebijakan dan pengelolaan sekolah. Kerangka belajar (framework) di Inggris Negara Inggris memiliki beberapa kerangka kualifikasi belajar. Negara bagian Wales menggunakan Credit and Qualification Framework for Wales (CQF) (lihat Gambar1), negara bagian Inggris dan Irlandia Utara menggunakan Qualifications and Credit Framework (QCF)

Pada tahun 2015, QCF direncanakanakan digantikan dengan sistem terbaru, Regulated Qualification Framework (RQF). Saat buku ini ditulis, RQF masih dalam proses penyesuaian implementasi di semua lembaga. Diharapkan perangkat pendukung untuk regulasi baru ini dapat selesai pada 31 Desember 2017. Perbedaan RQF dengan sistem kualifikasi lainnya ialah ukuran assessment yang didasarkan pada Total Qualification Time (TQT)1 dan Guided Learning Hours (GLH) (Ofqual, 2015a). Artinya seseorang yang memeroleh sertifikat vokasional harus menempuh pendidikan vokasi resmi dan tidak sekadar mengikuti uji kompetensi keahlian. Berbeda dengan sistem sebelumnya, ukuran waktu yang dijadikan assessment ini tidak memiliki rentang batas waku durasi menyelesaikan suatu kualifikasi, sehingga peserta didik dapat mengatur sendiri durasi masa studinya. Di saat yang bersamaan lembaga penyelenggara pendidikan vokasi mendapat kebebasan untuk melakukan peninjauan, pengembangan, dan peningkatan sistem kualifikasi (NCC Resources Ltd, 2017). RQF dapat menguntungkan peserta didik dan lembaga pemberi kualifikasi karena (1) sistem ini secara konsisten mengukur durasi studi dan juga tingkat kesulitan yang ditempuh peserta didik, serta (2) tidak ada aturan khusus untuk merancang bagaimana lembaga pemberi kualifikasi mengatur penetapan kualifikasinya. Pemerintah dalam hal ini hanya memberi semacam panduan standar kompetensi yang diperlukan untuk tiap tingkatnya.

 

Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi di Inggris

Pendidikan adalah investasi yang sangat erat hubungannya dengan human capital (Becker, 1994). Satu hal yang sangat penting dalam meningkatkan pendidikan vokasi adalah penjaminan mutu. Menurut Vlãsceanu, et al., (2007) jaminan pendidikan adalah istilah yang mengacu pada proses evaluasi yang terus menerus dalam hal penilaian, pemantauan, penjaminan, pemeliharaan dan perbaikan kualitas sistem pendidikan, institusi atau program. Sistem penjaminan mutu bisa dilakukan secara internal (praktik intra-institusi) dan eksternal (dengan lembaga lainnya). Kegiatan penjaminan mutu bergantung pada adanya mekanisme kelembagaan. Menurut Bateman dan Coles (2013) proses penjaminan mutu terkait dengan kerangka kualifikasi nasional atau sektoral. Kerangka kualifikasi nasional dikaitkan dengan proses penjaminan mutu karena mereka menetapkan standar untuk akreditasi kualifikasi yang dapat dilakukan dan juga memberikan ukuran standar untuk sistem penilaian yang dirancang dan diuji.

Empat kunci proses dasar dalam penjaminan mutu untuk pendidikan dan pelatihan (Bateman et al., 2012), adalah:

1. Akreditasi Kualifikasi

2. Pendaftaran Penyedia Pendidikan dan Pelatihan

3. Pengawasan Sistem Penilaian dan Pemberian Kualifikasi

4. Peraturan Penerbitan Sertifikat

Penjaminan Mutu Program Magang (apprenticeship)

program magang (apprenticeship) adalah satu pilihan dalam pendidikan vokasi.Sejak dimulainya tahun 1994, sudah lebih dari satu juta peserta didik mengikuti program magang (Cuddy dan Leney, 2005). Setelah menyelesaikan program apprenticeship, peserta didik memiliki tiga pilihan lanjutan;

(1) program apprenticeshipyang lebih tinggi,

 (2) pendidikan tinggi, atau

(3) bekerja

 Pemagangan adalah gabungan antara pelatihan dan pendidikan berbasis kerja, yang mencakup unsur-unsur dasar berikut: a. kualifikasivokasional nasional (National Vocational Qualifications (NVQ)), kualifikasi spesifik pekerjaan disampaikan dan dinilai terutama di tempat kerja; b. keterampilan utama, misalnyakomunikasi dan TIK pada tingkat yang sesuai; c. sertifikat teknis, memberikan pengetahuan yang mendasari teknis atau area bisnis yang terkait dengan pekerjaan dan disampaikan di sebuah perguruan tinggi.

 

 Green-TVET dan Higher-Order Thinking (HOT) Skills

Keterampilan dalam Kurikulum Pendidikan Vokasi Kurikulum Pendidikan vokasi di Inggris memadukan ilmu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan sikap/tingkah laku (attitude and behaviour) untuk memenuhi standar kecakapan calon tenaga kerja. Hal ini dilakukan dengan memadukan keterampilan dasar (core skills), keterampilan kerja (employability skills) dan keterampilan vokasi (vocational skills) (British Council, 2017)

Berdasarkan rekomendasi Sainsbury Review, dari hasil diskusi the Independent Panel on Technical Education, Pemerintah Inggris melalui the Minister of State for Skills mereformasi kurikulum pendidikan vokasi

untuk usia 16 tahun ke atas (post-16) dengan menerbitkan ‘Post-16 Skills Plan’. Kerangka baru ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi, menyederhanakan sistem dan memastikan lulusan memenuhi kriteria pendidikan abad 21. Selain pembenahan sistem, salah satu hasil diskusi yang penting dan dijadikan rujukan pemerintah Inggris adalah penetapan kerangka dari 15 spesialisasi bidang(DBIS & DfE , 2016), yaitu:

1.       Pertanian, Kepedulian Lingkungan dan Hewan (Agriculture, Environmental and Animal Care)

2.       Bisnis dan Administrasi (Business and Administrative)

3.       Catering dan Keramahan (Catering and Hospitality)

4.       Perawatan Anak dan pendidikan (Children care and education)

5.       Konstruksi (Construction)

6.       Kreatif dan Desain (Creative and Design)

7.       Digital (Digital)

8.       Teknik dan Pabrik (Engineering and Manufacturing)

9.       Rambut dan salon kecantikan (Hair and Beauty)

10.   Kesehatan dan Ilmu Pengetahuan Alam (Health and Science)

11.   Izin legal Keuangan dan Akuntansi (Legal, Finance and Accounting)

12.   Layanan Pelindung (Protective Service)

13.   Penjualan, pemasaran dan pembelian (Sales, Marketing & Procurement)

14.   Kepedulian Sosial (Social care)

15.   Transportasi dan Logistik (Transport and Logistics)

 

 

Transferable Skills

Transferable skills dapat didefinisikan sebagai keterampilan-keterampilan yang berguna dalam berbagai jenis pekerjaan dan konteks kehidupan (UNESCO, 2012, hal. 14; Bridges, 1993; Bennett, 2002; Richard, 2012). Transferable skills telah diintegrasikan menjadi salah satu unsur penting dalam kurikulum pendidikan vokasidi Negara Inggris, baik dalam pendidikan formal maupun non-formal. Namun, setiap negara bagian menggunakan istilah yang berbeda untuk mendes-kripsikan transferable skills, seperti functional skills di Inggris, core skills di Skotlandia,dan essential skills di Wales dan Irlandia Utara. Pentingnya pengembangan transferable skills dalam sistem pendidikan vokasi masih memiliki porsi yang berbeda dalam sistem pendidikan di berbagai negara (UNESCO, 2014). Hal tersebut juga terjadi di negara-negara bagian Inggris.

Negara Inggris menekankan pentingnya functional skills sebagai bentuk transferable skills menggantikan istilah terdahulunya, Key Skills. Key Skills awalnya diterbitkan dalam The Statutory Regulation of External Qualifications in England, Wales and Northern Ireland (2004). Dibutuhkan waktu 2 tahun semenjak Functional skills diperkenalkan pada tahun 2010, hingga istilah Key Skills resmi digantikan pada 1 Oktober 2012(ACE, 2015). Functional skills yang dimaksud meliputi:

1. Penerapan angka (Maths)

 2. Komunikasi (English)

3. Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT)

4. Mengembangkan pembelajaran dan performa secara mandiri (improving own learning and performance atauI OLP)

5. Pemecahan masalah

6. Bekerja sama

Core skills di Skotlandia (SQA, 2013) adalah beberapa keterampilan mendasar yang membantu peserta didik memahami dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan dalam berbagai situasi, baik dalam dunia pendidikan maupun pekerjaan. Keterampilan-keterampilan ini berkaitan dengan pembelajaran sepanjang hayat, karena akan sangat membantu seseorang untuk menganalisis dan memecahkan masalah, berkomunikasi dengan baik, menggunakan teknologi informasi, bekerjasama dengan efektif, dan berperan aktif, fleksibel, serta bertanggungjawab dalam pekerjaannya.

 

 

 

 

 

Pembelajaran dan Penilaian Otentik dalam Pendidikan Vokasi

Pembelajaran dan Penilaian Otentik Umumnya, pembelajaran otentik menekankan pada aktivitas belajar yang berbasis dunia nyata, seperti: penyelesaian masalah menggunakan solusi yang dirumuskan siswa, role play, problem-based activities, dan studi kasus. Dalam menerapkan pembelajaran otentik, guru tidak menekankan penggunaan buku teks melainkan dokumen, data saintifik dan sumber belajar non-textbook lainnya. Ceramah dan penjelasan yang didominasi oleh teacher-talk akan diminimalisir dan diganti dengan pembelajaran berbasis aktivitas berdasarkan permasalahan. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antar siswa melalui kolaborasi dan antar siswa dengan guru memegang peranan penting pada pembelajaran otentik. Dengan sistem pembelajaran yang demikian, penilaian hendaknya tidak menekanakan pada jawaban salah benar yang hanya menjangkau pemahaman dasar.

 Dalam menerapkan penilaian otentik, capaian belajar siswa sebaiknya tidak hanya ditinjau dari satu aspek penilaian saja melainkan dari berbagai aspek yang dapat mengukur capaian belajar siswa secara holistik, termasuk partisipasi siswa dan produk yang siswa hasilkan selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Faraday, Overton, dan Cooper (2011), terdapat dua jenis penilaian yang keduanya diterapkan di sistem pendidikan vokasi, yakni penilaian terhadap hasil pembelajaran dan penilaian untuk proses pembelajaran. Penilaian terhadap hasil pembelajaran merupakan jenis penilaian yang umum dilakukan di berbagai tipe dan jenjang pendidikan. Instrumen yang seringkali digunakan adalah tes tertulis, tes berbasis komputer, peragaan, dan penggunaan permainan di kelas. Penilaian tidak hanya dapat dilakukan oleh guru karena siswa dapat diajak untuk merefleksikan hasil pembelajaran mereka sendiri maupun memberikan penilaian kepada siswa yang lain. Penilaian yang kedua ialah penilaian untuk pembelajaran yang ditujukan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa dan meninjau efektivitas metode yang digunakan dalam pembelajaran. Melalui penilaian ini, guru diharapkan dapat mengevaluasi apakah kebutuhan belajar siswa telah cukup terpenuhi.

 

Program Pembelajaran Sepanjang Hayat pada Pendidikan Vokasi di Inggris

Reformasi dalam sistem pendidikan vokasi di Inggris selalu menekankan pembelajar sepanjang hayat atau Lifelong learning. Menurut pusat informasi pendidikan kejuruan dan keterampilan negara-negara di Eropa /The European Centre for the Development of Vocational Training (Cedefop), walaupun banyak tantangan yang dihadapi, pemerintah Inggris tetap mengupayakan reformasi sistem pendidikan demi mewujudkan kebijakan jangka panjangnya terutama strategi Lifelong learning. Beberapa tujuan kebijakan tersebut antara lain adalah meningkatkan keterampilan dasar para pekerja, meningkatkan ketuntasan pendidikan, dan mengupayakan pemenuhan pendidikan keterampilan (Cuddy, N & Leney, T., 2005). Sistem pendidikan vokasi yang berbasis pada tujuan belajar sepanjang hayat di Inggris sudah ditekankan sejak tahun 1998 dengan dikeluarkannya keputusan Departemen Pendidikan dan Keterampilan / Department for Education and Skills (DfES) yang sejak tahun 2010 berganti nama menjadi Department for Education (DfE).

 Pemerintah Inggrissangat menyadari akan tantangan jaman yang selalu berubah dan masa depan yang tidak pasti terutama bagi orang dewasa. Menurut Mike Campbell (2016), ada tiga komponen yang harus diwaspadai oleh pemerintah Inggris dalam menghadapi tantangan jaman: ketersediaan keterampilan (Skills supply), permintaan keterampilan (Skills demand) dan ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar (Skills mismatch).  Ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar ini terjadi ketika jumlah keterampilan yang tersedia tidak sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan/ diminta oleh pasar.

 

Integrasi TIK dalam Pendidikan Vokasi Inggris

Dalam dunia pendidikan, penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 1960-an, namun, penggunaan perangkat komputer baru diterapkan di awal tahun 1970-an. Terhitung sejak awal 1990-an, 20% dari institusi pendidikan di Inggris sudah menggunakan perangkat komputer secara aktif (Our ICT, 2015). Penggunaan teknologi ini tentunya memberikan dampak bagi setiap perangkat pendidikan sehingga bimbingan mengenai penerapan TIK yang tepat dalam praktik pendidikan juga diperlukan. Tahun 1998, pemerintah Inggris mendirikan BECTA (British Educational Communication and Technology Agency) badan independen yang bertugas sebagai penasihat, pengawas, serta penunjang penggunaan TIK dalam lingkungan pendidikan (Dykes, 2016). Beberapa perkembangan TIK seperti Virtual Reality(VR), Augmented Reality (AR) serta Internet of Things (IoT) juga mulai memiliki peran dalam pendidikan di Inggris. Meskipun penggunaannya belum dapat dikatakan merata di seluruh sekolah di Inggris, namum komitment pemerintah Inggris, perusahan swasta, yayasan nirlaba, dan universitas turut meningkatkan penggunaannya di sekolah.

 

Bimbingan Karier dan Informasi Lapangan Kerja

Sejak tahun 1990-an, kebijakan mengenai pelaksanaan layanan bimbingan karier di Inggris mengalami beberapa perubahan. Salah satu perubahan yang paling mutakhir dan hingga saat ini masih berlaku adalah perubahan kebijakan yang terjadi pada tahun 2012. Sejak bulan September 2012, sebagaimana yang tertuang dalam The Education Act 2011, sekolah-sekolah di Inggris bertanggungjawab untuk menyediakan layanan bimbingan karier kepada setiap peserta didik di kelas 9 sampai 11. Pada tahun berikutnya, kebijakan tersebut diperluas tidak hanya untuk kelas 9 sampai 11, tetapi juga untuk kelas 8 dan peserta didik yang berusia 16 sampai 18 tahun, baik di sekolah, pendidikan lanjutan, maupun college. Pemerintah daerah tetap memiliki tanggungjawab untuk mendorong, memfasilitasi, dan membantu para pemuda untuk berpartisipasi dalam program pendidikan dan pelatihan (Ofsted, 2013). Berdasarkan data terakhir pada tahun 2015, sebanyak 91% peserta didik di England yang rata-rata berusia 16 tahun melanjutkan karier ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, 3% memilih bekerja, 5% masih belum mapan antara melanjutkan pendidikan atau bekerja, sedangkan 1% sisanya tidak sama sekali. Di sisi lain, pada level yang lebih tinggi di mana peserta didik rata-rata berusia 18 tahun, 65% melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, diikuti 23% peserta didik yang memilih bekerja, 9% yang masih belum tetap, dan 3% yang tidak memilih keduanya (Department for Education, 2017).

Pelaksanaan Bimbingan Karier di Inggris Pemerintah Inggris menargetkan setiap peserta didik yang lulus dari sekolah sudah siap untuk beradaptasi dengan kehidupan Inggris yang modern. Hal ini berarti bahwa setiap sekolah harus juga memastikan setiap peserta didik memiliki kemampuan akademik yang baik, nilai-nilai, keterampilan, dan juga perilaku yang diperlukan di dalam kehidupannya. Setiap peserta didik harus diajarkan untuk mengembangkan karakter yang kuat melalui kegiatan di dalam maupun di luar kelas, yang mana karakter tersebut merupakan kunci kesuksesan dalam bidang akademik maupun pekerjaan. Sekolah juga harus memastikan setiap peserta didiknya mendapatkan informasi yang cukup mengenai karier yang akan dijalaninya sebelum mengambil keputusan (Department for Education, 2015).

 

Akses dan Kesamaan dalam Pendidikan Vokasi

Perkembangan pendidikan vokasi di Inggris sejak tahun 1970 mengalami banyak pasang surut. Berbagai kebijakan dibuat, dimodifikasi dan diganti untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan vokasi yang berkualitas (Lihat bab 2). Seperti dibahas di bab sebelumnya, sistem pendidikan vokasi di Inggris sangat kompleks dan bahkan cenderung membingungkan. Berbagai permasalahan mulai dari isu pendanaan, kualitas pendidikan dan kualifikasi, sampai isu akses pendidikan vokasi yang tidak merata dan penuh dengan stigma negatif akan menjadi fokus dari pembahasan di bab ini. Ketidaksetaraan akses dan kualitas dari pendidikan vokasi ini tidak lepas dari perspektif dari pada pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, industri dan masyarakat mengenai siapa yang menjadi target dari pendidikan vokasi ini dan tujuan dibuatnya rute pendidikan yang lebih ‘non-akademis’ ini. Tentunya perspektif tersebut mempengaruhi arah kebijakan yang diambil dan proses aplikasinya di lapangan.

Penyelenggaraan pendidikan vokasi memerlukan pendanaan yang banyak. Dengan perubahan besar yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas dari pendidikan vokasi di Inggris beberapa tahun terakhir ini, mekanisme pendanaan menjadi salah satu utama. Untuk program apprenticeship khususnya, efektif dari bulan Mei 2017, pemerintah memberlakukan ‘apprenticeship levy’ yang mewajibkan perusahaan besar dengan total pengeluaran jumlah gaji sebanyak £3 juta (atau berkisar Rp 51 miliar) per tahun untuk membayar sejenis pajak yang pada akhirnya dipakai untuk mendanai pelatihan dan program apprenticeship.

Setelah melakukan studi banding sistem pendidikan vokasi di berbagai negara dengan peringkat PISA yang lebih tinggi dan angka pengangguran anak muda yang lebih rendah dari Inggris yakni Australia, Belanda, Kanada dan Singapura, IPPR dalam kajiannya (Cook, 2013) menemukan beberapa praktik baik yang bisa diterapkan di Inggris (dan dapat juga diadopsi di Indonesia) untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi. Salah satunya adalah pentingnya kepastian prospek dan kontinuitas untuk program vokasi dimana pendidikan vokasi yang ditawarkan di tingkat pendidikan SMK dan sederajat dapat memberikan bekal dan jaminan untuk bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya, baik di institusi pendidikan tinggi maupun dunia kerja.

Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh institusi WISE (Women in Science, Technology, Engineering and Mathematics), untuk program ‘apprenticeship’, jika dibandingkan dengan tahun 2011/2012, memang ada kenaikan jumlah perempuan yang menyelesaikan program apprenticeship di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) di tahun 2013/ 2014 sebanyak 7.2% (WISE, 2015:13). Kenaikan ini juga tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki yang hanya naik 0.9%. Akan tetapi jika dibuat perbandingan antara laki-laki dan perempuan, jumlah perempuan yang menyelesaikan program apprenticeship di bidang STEM, di tahun 2013/2014, laki-laki masih mendominasi dengan 91.1% dan perempuan hanya 8.9% (WISE, 2015:13). Rasio laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga ditemukan pada pendidikan vokasi di institusi 14-19. Bahkan proporsi peserta didik laki-lakinya jauh lebih tinggi di institusi ini dibandingkan dengan ratarata sekolah lainnya. Di sekolah menengah ‘secondary schools’ di Inggris, 51% dari total peserta didik adalah laki-laki, tetapi angka ini akan naik menjadi 68% di institusi 14-19.

Dana tambahan berupa STEM Uplift juga akan diberikan oleh pemerintah untuk program STEM berdasarkan Sector Subject Area (SSA) yang kerangkanya sudah dirancang oleh pihak otoritas terkait. Dana tambahan yang diberikan adalah sebesar 40% untuk jalur tingkat 2 dan 80% untuk jalur tingkat 3 ke atas. Adapun SSA yang dapat menerima STEM Uplift ini adalah:

1.       Engineering and Manufacturing Technologies (Teknik dan Teknologi Industri)

2.       Information and Communication Technology (Teknologi Informasi dan Komunikasi)

3.       Science and Mathematics (Sains dan Matematika)

4.       Construction, Planning and the Built Environment (Konstruksi, Perencanaan dan Lingkungan)

 

Inklusifitas Pendidikan Vokasi di Inggris

Dunia internasional pertama kali dikenalkan dengan istilah pendidikan inklusif melalui Pernyataan Salamanca (UNESCO, 1994). Melalui pertemuan ini, Inggris di antara lebih dari sembilan puluh perwakilan negara lainnya, kembali menegaskan prinsip “Education for All” dan berkomitmen untuk mengajak sekolah-sekolah dalam memberikan fasilitas pendidikan terhadap seluruh individu, tanpa memandang karakteristik khusus yang mereka miliki. Sejak ikut meratifikasi perjanjian ini, Inggris, terkhusus Inggris dan Wales yang memiliki sistem pendidikan serupa, semakin mengeksplorasi dan membuat kebijakan untuk mengakomodasi para individu berkebutuhan khusus. Adapun produk terbaru dan yang paling dijadikan acuan utama oleh para praktisi pendidikan di bidang pendidikan khusus dan inklusif adalah Special Educational Needs and Disability Code of Practice 2015.

layanan pendidikan inklusif masih memiliki status yang cukup ambigu dan kompleks, sehingga penentuan kebijakan untuk isu ini pun bukan merupakan hal yang mudah. Inggris memiliki beragam kebijakan dan panduan untuk pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan kejuruan. SEND Code of Practice 2015 merupakan pedoman paling utama sebagai acuan segala jenis turunan panduan dalam memberikan layanan pendidikan para IBK. Dari pedoman ini, terdapat beragam panduan praktis lainnya yang dapat memudahkan sekolah-sekolah dan LEAs dalam menjalankan butir-butir yang diusung di SEND CoP 2015 tersebut.

 

Konsep dan Implementasi Public Private Partnership pada Pendidikan Vokasi

Dalam pengelolaan pendidikan, pemerintah umumnya menghadapi dua tantangan. Di satu sisi harus memperluas akses pendidikan dan di sisi lain harus meningkatkan kualitas lulusan (LaRocque, 2008: p.6). Pertama, pendidikan yang disediakan oleh institusi swasta umumnya mengalami perkembangan yang pesat karena kemudahan dan keberanian berinovasi. Namun, jangkauan pendidikan swasta masih terbatas di kotakota besar. Sementara, pendidikan yang disediakan pemerintah, yang aksesnya lebih luas hingga ke area terpelosok, kualitasnya cenderung tertinggal dan lambat melakukan inovasi. Kedua, di samping masalah kesenjangan akses pendidikan, juga terjadi kesenjangan antara lembaga pendidikan dan dunia usaha. Lulusan yang dihasilkan lembaga pendidikan seringkali kurang sesuai dengan tuntutan industri. Dampaknya, semakin banyak lulusan yang tidak terserap oleh bursa tenaga kerja. Oleh karena itu, salah satu upaya pemerintah untuk memperluas akses dan kualitas pendidikan adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta, yang sering disebut sebagai program Kemitraan Pemerintah Swasta (Public Private Partnership, PPP). Kemitraan antara pemerintah dan swasta diharapkan dapat memperbaiki kualitas pendidikan dan mengetahui keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha (Gondinet & Gouchon, 2014: p.4)

Pemerintah berperan dalam menentukan lingkup kerja sama; membuat prioritas, target, dan hasil; dan menyusun standar pengukuran kinerja bagi pengelola PPP. Sedangkan pihak swasta berperan dalam mencapai tujuan PPP, yaitu memberikan nilai tambah bagi pemerintah (LaRocque, 2008, p.8). Inggris merupakan negara yang memiliki nilai proyek PPP terbesar di Eropa untuk tahun 2012. Pemerintah Inggris menggunakan PPP untuk membiayai pembangunan banyak sektor: transportasi, pendidikan, kesehatan, dan kantor-kantor pemerintah (Hall, 2015: p.8-9). Menurut Vertakova dan Plotnikov (2014: p.28), sektor pendidikan di Inggris menempati urutan ketiga dalam implementasi PPP berdasarkan jumlah pembiayaan. Jumlah pembiayaan proyek PPP di Inggris mengalami pertumbuhan yang stabil. Pada tahun 2003 berjumlah £373 juta, kemudian £ 575 juta (2004), £1.146 juta (2005), dan pada tahun 2008 berjumlah £2,076 juta (Deloitte, 2008). Dalam lima tahun tingkat pertumbuhannya melebihi 550%. Setelah tahun 2008 pembiayaan PPP di bidang pendidikan mengalami penurunan akibat krisis keuangan dunia. Namun, penurunan tersebut tidak signifikan.

Pendidikan vokasi yang baik adalah elemen dasar dalam ekonomi pembelajaran (learning economy) dan memiliki peran penting untuk menumbuhkan inovasi suatu masyarakat (Heemskerk & Zeitlin, 2014: p.2). Agar efektif, pendidikan vokasi membutuhkan pengajar yang kompeten, infrastruktur yang memadai, sumber daya pendukung yang mencukupi, dan kurikulum yang relevan dengan dunia usaha. Apabila semua kebutuhan tersebut terpenuhi, maka para siswa akan dapat belajar dengan efektif. Lembaga pendidikan vokasi akan dapat menghasilkan lulusan dengan keterampilan kerja yang handal dan sesuai dengan kebutuhan industri. Dampaknya, tenaga kerja menjadi produktif dan berkontribusi dalam perekonomian negara. Pemerintah Inggris terus berupaya agar layanan pendidikan vokasi yang disediakan oleh lembaga pendidikan di Inggris dapat ditingkatkan jumlahnya, baik untuk pengguna jasa di dalam negeri maupun luar negeri (AoC, 2012: p.4).  Di sektor pendidikan tinggi, partnership antara perguruan tinggi dan institusi bisnis di Inggris sangat erat kaitannya dengan perluasan fungsi pendidikan. Perguruan tinggi tidak hanya menyediakan pelatihan bagi ilmuwan dan melakukan penelitian, tetapi juga membantu pembentukan usaha kecil. Pemerintah mempromosikan partnership antara perguruan tinggi dan institusi bisnis dengan tujuan untuk menciptakan diversifikasi sumber pembiayaan pendidikan, mengembangkan potensi inovasi, dan meningkatkan daya saing negara. Pembangunan berkelanjutan yang dijalankan pemerintah Inggris memberikan prioritas pada peningkatan daya saing dan investasi di bidang pendidikan. Pemerintah dan swasta bersama-sama meningkatkan investasi dalam pendidikan melalui berbagai pendekatan (Vertakova dan Plotnikov, 2014).

Program revitalisasi pendidikan vokasi (khususnya SMK) yang dijalankan pemerintah Indonesia antara lain dilakukan melalui program PPP dengan melibatkan Dunia Usaha dan Industri (DUDI). Secara umum, pelaksanaan program PPP untuk pendidikan vokasi di Indonesia mencakup dua bidang inti yaitu pengembangan lembaga/infrastruktur sekolah, dan pelibatan DUDI. Pertama, program partnership untuk pengembangan lembaga/infrastruktur. Program ini merupakan kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan industri untuk membangun infrastruktur pendidikan vokasi. Sampai tahun 2020, pemerintah memiliki target untuk membangun 400 SMK baru dan 16.000 ruang kelas baru untuk menampung tambahan 850 ribu siswa baru (Kemendikbud, 2016a).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Implementasi bimbingan karir di sekolah dalam peningkatan pemahaman peserta didik di sekolah dasar dalam menentukan karir sejak dini

    Implementasi bimbingan karir di sekolah dalam peningkatan pemahaman peserta didik di sekolah dasar dalam menentukan karir sejak dini...