Sistem Pendidikan Vokasi di
Inggris
Ikhtisar
Sistem Pendidikan di Inggris
Kerajaan Inggris dan Irlandia
Utara (United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland) atau sering
disebut “Inggris” memiliki empat negara bagian, yaitu; Inggris (England),
Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Setiap negara bagian memiliki sistem
pemerintahan yang berbeda. Pengawasan pendidikan di Inggris di tingkat nasional
berada di bawah Departemen Pendidikan (Department for Education). Sama halnya seperti
Indonesia, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan
pendidikan di daerah masing-masing. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
praktik pendidikan antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya
memiliki perbedaan. Pemerintah Inggris memberlakukan program wajib belajar
nasional. Berdasarkan Undang-Undang Pendidikan tahun 1996, orangtua atau wali
di negara bagian Inggris diwajibkan untuk memastikan bahwa setiap anak berusia
lima hingga enam belas tahun mendapatkan pendidikan. Orangtua atau wali yang
tidak mengikuti peraturan ini akan mendapati sanksi seperti kurungan penjara
tiga bulan dan /atau denda £1000. Usia wajib belajar ini mencakup jenjang pendidikan
dasar (primary school) dan jenjang pendidikan menengah (secondary school)
tingkat awal.
1. Pendidikan pra-dasar (pre-school)
Pendidikan pra-dasar diikuti oleh
peserta didik berusia di bawah 5 tahun. Adapun pembelajaran dilakukan dengan
cara bermain. Area pembelajaran meliputi bahasa dan komunikasi, perkembangan
fisik, perkembangan pribadi, sosial dan emosional, literasi, matematika,
pemahaman tentang dunia, seni dan rupa (Gov.Uk, n.d(a)).
2. Pendidikan dasar (primary school)
Pendidikan dasar diikuti oleh
peserta didik berusia 4–11 tahun dan berlangsung selama tujuh tahun. Ada duaKey
Stage di tingkat ini yaitu Key Stage 1 (untuk tahun pertama dan kedua) serta
Key Stage 2 (untuk tahun ketiga hingga kelima).
3. Pendidikan menengah (secondary school)
Pendidikan menengah berlangsung selama lima
hingga tujuh tahun. Peserta didik pendidikan menengah tingkat pertama berusia
11–16 tahun. Ada dua Key Stage yaitu Key Stage 3 (untuk tahun ketujuh hingga
kesembilan) dan Key Stage 4 (untuk tahun kesepuluh hingga kesebelas).
4. Pendidikan tinggi (higher education)
Pendidikan tinggi diikuti oleh
mahasiswa berusia di atas 18 tahun. Ada tiga jenjang yang dapat ditempuh yaitu
S1 (undergraduate) yang berdurasi tiga tahun, S2 (Master) yang biasanya
berdurasi satu tahun, dan S3 (PhD.) yang berdurasi minimal tiga tahun.
Di negara bagian Inggris, tipe sekolah dapat dilihat
berdasarkan sumber pendanaan dan pengelolaan sekolah. Berikut adalah beberapa
tipe sekolah di negara bagian Inggris:
Perkembangan
Konsep dan Implementasi Pendidikan Vokasi dan Sistem Sertifikasi di Inggris
Kebijakan pendidikan vokasi dan
sistem sertifikasi di Inggris tidak lepas dari dinamika perubahan. Pada era
1970-an, Badan nasional tenaga kerja (Manpower Services Commission) membentuk
skema Youth Training Scheme (YTS) yang dibentuk untuk menyelaraskan outcome
sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja (Winch & Hyland, 2007). Program
ini memberikan kesempatan bagi para lulusan sekolah kejuruan yang menganggur
untuk menghadapi bursa tenaga kerja (Young, 2011).
Pada tahun 1993 pemerintah Inggris
merilis program Modern Apprenticeship (MA) atau program magang untuk
diintegrasikan dengan skema pendidikan vokasi usia 16 hingga 19 tahun guna
memperoleh sertifikasi keahlian NVQ Level 3 (Winch & Hyland, 2007, p. 25).
Kebijakan MA ini kemudian terus berkembang sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja
sehingga pada tahun 2001 muncul kebijakan Foundation Modern Apprenticeship
(FMA) untuk Level 2 dan Advanced Modern Apprenticeship (AMA) untuk Level 3
(ibid., p.28). Tahun 1990– 2000-an secara umum dikenal tiga sistem sertifikasi
yang pernah berlaku di negara Inggris dan Irlandia Utara (Hayward, 1995;
Raggatt & Williams, 1999; Winch & Hyland, 2007), yaitu National
Vocational Qualifications (NVQs) yang diterapkan di negara bagian Inggris,
Wales, dan Northern Ireland, General National Vocational Qualifications (GNVQs)
yang dipakai di negara bagian Wales dan Inggris, serta Scottish Vocational
Qualification (SQVs) yang diterapkan di negara bagian Skotlandia. GNVQs
bersifat lebih umum daripada NVQS. Seperti yang telah dijelaskan di bab
sebelumnya, tiap negara bagian dari Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara
memiliki kewenangan masing-masing untuk pengambilan kebijakan dan pengelolaan
sekolah. Kerangka belajar (framework) di Inggris Negara Inggris memiliki
beberapa kerangka kualifikasi belajar. Negara bagian Wales menggunakan Credit
and Qualification Framework for Wales (CQF) (lihat Gambar1), negara bagian
Inggris dan Irlandia Utara menggunakan Qualifications and Credit Framework
(QCF)
Pada tahun 2015, QCF
direncanakanakan digantikan dengan sistem terbaru, Regulated Qualification
Framework (RQF). Saat buku ini ditulis, RQF masih dalam proses penyesuaian
implementasi di semua lembaga. Diharapkan perangkat pendukung untuk regulasi
baru ini dapat selesai pada 31 Desember 2017. Perbedaan RQF dengan sistem
kualifikasi lainnya ialah ukuran assessment yang didasarkan pada Total
Qualification Time (TQT)1 dan Guided Learning Hours (GLH) (Ofqual, 2015a).
Artinya seseorang yang memeroleh sertifikat vokasional harus menempuh
pendidikan vokasi resmi dan tidak sekadar mengikuti uji kompetensi keahlian.
Berbeda dengan sistem sebelumnya, ukuran waktu yang dijadikan assessment ini
tidak memiliki rentang batas waku durasi menyelesaikan suatu kualifikasi,
sehingga peserta didik dapat mengatur sendiri durasi masa studinya. Di saat
yang bersamaan lembaga penyelenggara pendidikan vokasi mendapat kebebasan untuk
melakukan peninjauan, pengembangan, dan peningkatan sistem kualifikasi (NCC
Resources Ltd, 2017). RQF dapat menguntungkan peserta didik dan lembaga pemberi
kualifikasi karena (1) sistem ini secara konsisten mengukur durasi studi dan
juga tingkat kesulitan yang ditempuh peserta didik, serta (2) tidak ada aturan
khusus untuk merancang bagaimana lembaga pemberi kualifikasi mengatur penetapan
kualifikasinya. Pemerintah dalam hal ini hanya memberi semacam panduan standar
kompetensi yang diperlukan untuk tiap tingkatnya.
Penjaminan
Mutu Pendidikan Vokasi di Inggris
Pendidikan adalah investasi yang
sangat erat hubungannya dengan human capital (Becker, 1994). Satu hal yang
sangat penting dalam meningkatkan pendidikan vokasi adalah penjaminan mutu.
Menurut Vlãsceanu, et al., (2007) jaminan pendidikan adalah istilah yang
mengacu pada proses evaluasi yang terus menerus dalam hal penilaian,
pemantauan, penjaminan, pemeliharaan dan perbaikan kualitas sistem pendidikan,
institusi atau program. Sistem penjaminan mutu bisa dilakukan secara internal
(praktik intra-institusi) dan eksternal (dengan lembaga lainnya). Kegiatan penjaminan
mutu bergantung pada adanya mekanisme kelembagaan. Menurut Bateman dan Coles
(2013) proses penjaminan mutu terkait dengan kerangka kualifikasi nasional atau
sektoral. Kerangka kualifikasi nasional dikaitkan dengan proses penjaminan mutu
karena mereka menetapkan standar untuk akreditasi kualifikasi yang dapat
dilakukan dan juga memberikan ukuran standar untuk sistem penilaian yang
dirancang dan diuji.
Empat kunci proses dasar dalam
penjaminan mutu untuk pendidikan dan pelatihan (Bateman et al., 2012), adalah:
1.
Akreditasi Kualifikasi
2.
Pendaftaran Penyedia Pendidikan dan Pelatihan
3.
Pengawasan Sistem Penilaian dan Pemberian Kualifikasi
4.
Peraturan Penerbitan Sertifikat
Penjaminan Mutu Program Magang (apprenticeship)
program magang (apprenticeship)
adalah satu pilihan dalam pendidikan vokasi.Sejak dimulainya tahun 1994, sudah
lebih dari satu juta peserta didik mengikuti program magang (Cuddy dan Leney,
2005). Setelah menyelesaikan program apprenticeship, peserta didik memiliki
tiga pilihan lanjutan;
(1)
program apprenticeshipyang lebih tinggi,
(2) pendidikan tinggi, atau
(3)
bekerja
Pemagangan adalah gabungan antara pelatihan
dan pendidikan berbasis kerja, yang mencakup unsur-unsur dasar berikut: a.
kualifikasivokasional nasional (National Vocational Qualifications (NVQ)),
kualifikasi spesifik pekerjaan disampaikan dan dinilai terutama di tempat
kerja; b. keterampilan utama, misalnyakomunikasi dan TIK pada tingkat yang
sesuai; c. sertifikat teknis, memberikan pengetahuan yang mendasari teknis atau
area bisnis yang terkait dengan pekerjaan dan disampaikan di sebuah perguruan
tinggi.
Green-TVET dan Higher-Order Thinking (HOT)
Skills
Keterampilan dalam Kurikulum
Pendidikan Vokasi Kurikulum Pendidikan vokasi di Inggris memadukan ilmu
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan sikap/tingkah laku (attitude
and behaviour) untuk memenuhi standar kecakapan calon tenaga kerja. Hal ini
dilakukan dengan memadukan keterampilan dasar (core skills), keterampilan kerja
(employability skills) dan keterampilan vokasi (vocational skills) (British
Council, 2017)
Berdasarkan rekomendasi Sainsbury Review, dari hasil
diskusi the Independent Panel on Technical Education, Pemerintah Inggris
melalui the Minister of State for Skills mereformasi kurikulum pendidikan
vokasi
untuk usia 16 tahun ke atas (post-16) dengan
menerbitkan ‘Post-16 Skills Plan’. Kerangka baru ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan vokasi, menyederhanakan sistem dan memastikan
lulusan memenuhi kriteria pendidikan abad 21. Selain pembenahan sistem, salah
satu hasil diskusi yang penting dan dijadikan rujukan pemerintah Inggris adalah
penetapan kerangka dari 15 spesialisasi bidang(DBIS & DfE , 2016), yaitu:
1. Pertanian, Kepedulian Lingkungan dan Hewan (Agriculture,
Environmental and Animal Care)
2. Bisnis dan Administrasi (Business and Administrative)
3. Catering dan Keramahan (Catering and Hospitality)
4. Perawatan Anak dan pendidikan (Children care and education)
5. Konstruksi (Construction)
6. Kreatif dan Desain (Creative and Design)
7. Digital (Digital)
8. Teknik dan Pabrik (Engineering and Manufacturing)
9. Rambut dan salon kecantikan (Hair and Beauty)
10. Kesehatan dan Ilmu Pengetahuan Alam (Health and Science)
11. Izin legal Keuangan dan Akuntansi (Legal, Finance and Accounting)
12. Layanan Pelindung (Protective Service)
13. Penjualan, pemasaran dan pembelian (Sales, Marketing &
Procurement)
14. Kepedulian Sosial (Social care)
15. Transportasi dan Logistik (Transport and Logistics)
Transferable
Skills
Transferable skills dapat
didefinisikan sebagai keterampilan-keterampilan yang berguna dalam berbagai
jenis pekerjaan dan konteks kehidupan (UNESCO, 2012, hal. 14; Bridges, 1993;
Bennett, 2002; Richard, 2012). Transferable skills telah diintegrasikan menjadi
salah satu unsur penting dalam kurikulum pendidikan vokasidi Negara Inggris,
baik dalam pendidikan formal maupun non-formal. Namun, setiap negara bagian
menggunakan istilah yang berbeda untuk mendes-kripsikan transferable skills,
seperti functional skills di Inggris, core skills di Skotlandia,dan essential
skills di Wales dan Irlandia Utara. Pentingnya pengembangan transferable skills
dalam sistem pendidikan vokasi masih memiliki porsi yang berbeda dalam sistem
pendidikan di berbagai negara (UNESCO, 2014). Hal tersebut juga terjadi di
negara-negara bagian Inggris.
Negara Inggris menekankan
pentingnya functional skills sebagai bentuk transferable skills menggantikan
istilah terdahulunya, Key Skills. Key Skills awalnya diterbitkan dalam The Statutory
Regulation of External Qualifications in England, Wales and Northern Ireland
(2004). Dibutuhkan waktu 2 tahun semenjak Functional skills diperkenalkan pada
tahun 2010, hingga istilah Key Skills resmi digantikan pada 1 Oktober 2012(ACE,
2015). Functional skills yang dimaksud meliputi:
1.
Penerapan angka (Maths)
2. Komunikasi (English)
3.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT)
4.
Mengembangkan pembelajaran dan performa secara mandiri (improving own learning
and performance atauI OLP)
5.
Pemecahan masalah
6.
Bekerja sama
Core skills di Skotlandia (SQA,
2013) adalah beberapa keterampilan mendasar yang membantu peserta didik
memahami dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan dalam berbagai situasi,
baik dalam dunia pendidikan maupun pekerjaan. Keterampilan-keterampilan ini
berkaitan dengan pembelajaran sepanjang hayat, karena akan sangat membantu
seseorang untuk menganalisis dan memecahkan masalah, berkomunikasi dengan baik,
menggunakan teknologi informasi, bekerjasama dengan efektif, dan berperan aktif,
fleksibel, serta bertanggungjawab dalam pekerjaannya.
Pembelajaran
dan Penilaian Otentik dalam Pendidikan Vokasi
Pembelajaran dan Penilaian Otentik
Umumnya, pembelajaran otentik menekankan pada aktivitas belajar yang berbasis
dunia nyata, seperti: penyelesaian masalah menggunakan solusi yang dirumuskan
siswa, role play, problem-based activities, dan studi kasus. Dalam menerapkan
pembelajaran otentik, guru tidak menekankan penggunaan buku teks melainkan
dokumen, data saintifik dan sumber belajar non-textbook lainnya. Ceramah dan
penjelasan yang didominasi oleh teacher-talk akan diminimalisir dan diganti
dengan pembelajaran berbasis aktivitas berdasarkan permasalahan. Hal ini
menunjukkan bahwa interaksi antar siswa melalui kolaborasi dan antar siswa
dengan guru memegang peranan penting pada pembelajaran otentik. Dengan sistem
pembelajaran yang demikian, penilaian hendaknya tidak menekanakan pada jawaban
salah benar yang hanya menjangkau pemahaman dasar.
Dalam menerapkan penilaian otentik, capaian
belajar siswa sebaiknya tidak hanya ditinjau dari satu aspek penilaian saja
melainkan dari berbagai aspek yang dapat mengukur capaian belajar siswa secara
holistik, termasuk partisipasi siswa dan produk yang siswa hasilkan selama
proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan
oleh Faraday, Overton, dan Cooper (2011), terdapat dua jenis penilaian yang
keduanya diterapkan di sistem pendidikan vokasi, yakni penilaian terhadap hasil
pembelajaran dan penilaian untuk proses pembelajaran. Penilaian terhadap hasil
pembelajaran merupakan jenis penilaian yang umum dilakukan di berbagai tipe dan
jenjang pendidikan. Instrumen yang seringkali digunakan adalah tes tertulis,
tes berbasis komputer, peragaan, dan penggunaan permainan di kelas. Penilaian
tidak hanya dapat dilakukan oleh guru karena siswa dapat diajak untuk
merefleksikan hasil pembelajaran mereka sendiri maupun memberikan penilaian
kepada siswa yang lain. Penilaian yang kedua ialah penilaian untuk pembelajaran
yang ditujukan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa dan meninjau efektivitas
metode yang digunakan dalam pembelajaran. Melalui penilaian ini, guru
diharapkan dapat mengevaluasi apakah kebutuhan belajar siswa telah cukup
terpenuhi.
Program
Pembelajaran Sepanjang Hayat pada Pendidikan Vokasi di Inggris
Reformasi dalam sistem pendidikan
vokasi di Inggris selalu menekankan pembelajar sepanjang hayat atau Lifelong
learning. Menurut pusat informasi pendidikan kejuruan dan keterampilan
negara-negara di Eropa /The European Centre for the Development of Vocational
Training (Cedefop), walaupun banyak tantangan yang dihadapi, pemerintah Inggris
tetap mengupayakan reformasi sistem pendidikan demi mewujudkan kebijakan jangka
panjangnya terutama strategi Lifelong learning. Beberapa tujuan kebijakan
tersebut antara lain adalah meningkatkan keterampilan dasar para pekerja,
meningkatkan ketuntasan pendidikan, dan mengupayakan pemenuhan pendidikan
keterampilan (Cuddy, N & Leney, T., 2005). Sistem pendidikan vokasi yang
berbasis pada tujuan belajar sepanjang hayat di Inggris sudah ditekankan sejak
tahun 1998 dengan dikeluarkannya keputusan Departemen Pendidikan dan
Keterampilan / Department for Education and Skills (DfES) yang sejak tahun 2010
berganti nama menjadi Department for Education (DfE).
Pemerintah Inggrissangat menyadari akan
tantangan jaman yang selalu berubah dan masa depan yang tidak pasti terutama
bagi orang dewasa. Menurut Mike Campbell (2016), ada tiga komponen yang harus
diwaspadai oleh pemerintah Inggris dalam menghadapi tantangan jaman:
ketersediaan keterampilan (Skills supply), permintaan keterampilan (Skills
demand) dan ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar (Skills
mismatch). Ketidaksesuaian keterampilan
dengan kebutuhan pasar ini terjadi ketika jumlah keterampilan yang tersedia
tidak sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan/ diminta oleh pasar.
Integrasi
TIK dalam Pendidikan Vokasi Inggris
Dalam dunia pendidikan, penggunaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sudah berlangsung sejak pertengahan
tahun 1960-an, namun, penggunaan perangkat komputer baru diterapkan di awal
tahun 1970-an. Terhitung sejak awal 1990-an, 20% dari institusi pendidikan di
Inggris sudah menggunakan perangkat komputer secara aktif (Our ICT, 2015).
Penggunaan teknologi ini tentunya memberikan dampak bagi setiap perangkat
pendidikan sehingga bimbingan mengenai penerapan TIK yang tepat dalam praktik
pendidikan juga diperlukan. Tahun 1998, pemerintah Inggris mendirikan BECTA
(British Educational Communication and Technology Agency) badan independen yang
bertugas sebagai penasihat, pengawas, serta penunjang penggunaan TIK dalam
lingkungan pendidikan (Dykes, 2016). Beberapa perkembangan TIK seperti Virtual
Reality(VR), Augmented Reality (AR) serta Internet of Things (IoT) juga mulai
memiliki peran dalam pendidikan di Inggris. Meskipun penggunaannya belum dapat
dikatakan merata di seluruh sekolah di Inggris, namum komitment pemerintah
Inggris, perusahan swasta, yayasan nirlaba, dan universitas turut meningkatkan
penggunaannya di sekolah.
Bimbingan
Karier dan Informasi Lapangan Kerja
Sejak tahun 1990-an, kebijakan
mengenai pelaksanaan layanan bimbingan karier di Inggris mengalami beberapa
perubahan. Salah satu perubahan yang paling mutakhir dan hingga saat ini masih
berlaku adalah perubahan kebijakan yang terjadi pada tahun 2012. Sejak bulan
September 2012, sebagaimana yang tertuang dalam The Education Act 2011,
sekolah-sekolah di Inggris bertanggungjawab untuk menyediakan layanan bimbingan
karier kepada setiap peserta didik di kelas 9 sampai 11. Pada tahun berikutnya,
kebijakan tersebut diperluas tidak hanya untuk kelas 9 sampai 11, tetapi juga
untuk kelas 8 dan peserta didik yang berusia 16 sampai 18 tahun, baik di
sekolah, pendidikan lanjutan, maupun college. Pemerintah daerah tetap memiliki
tanggungjawab untuk mendorong, memfasilitasi, dan membantu para pemuda untuk
berpartisipasi dalam program pendidikan dan pelatihan (Ofsted, 2013).
Berdasarkan data terakhir pada tahun 2015, sebanyak 91% peserta didik di
England yang rata-rata berusia 16 tahun melanjutkan karier ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, 3% memilih bekerja, 5% masih belum mapan antara
melanjutkan pendidikan atau bekerja, sedangkan 1% sisanya tidak sama sekali. Di
sisi lain, pada level yang lebih tinggi di mana peserta didik rata-rata berusia
18 tahun, 65% melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, diikuti 23%
peserta didik yang memilih bekerja, 9% yang masih belum tetap, dan 3% yang
tidak memilih keduanya (Department for Education, 2017).
Pelaksanaan Bimbingan Karier di
Inggris Pemerintah Inggris menargetkan setiap peserta didik yang lulus dari
sekolah sudah siap untuk beradaptasi dengan kehidupan Inggris yang modern. Hal
ini berarti bahwa setiap sekolah harus juga memastikan setiap peserta didik
memiliki kemampuan akademik yang baik, nilai-nilai, keterampilan, dan juga
perilaku yang diperlukan di dalam kehidupannya. Setiap peserta didik harus
diajarkan untuk mengembangkan karakter yang kuat melalui kegiatan di dalam
maupun di luar kelas, yang mana karakter tersebut merupakan kunci kesuksesan
dalam bidang akademik maupun pekerjaan. Sekolah juga harus memastikan setiap
peserta didiknya mendapatkan informasi yang cukup mengenai karier yang akan
dijalaninya sebelum mengambil keputusan (Department for Education, 2015).
Akses
dan Kesamaan dalam Pendidikan Vokasi
Perkembangan pendidikan vokasi di
Inggris sejak tahun 1970 mengalami banyak pasang surut. Berbagai kebijakan
dibuat, dimodifikasi dan diganti untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan
vokasi yang berkualitas (Lihat bab 2). Seperti dibahas di bab sebelumnya,
sistem pendidikan vokasi di Inggris sangat kompleks dan bahkan cenderung
membingungkan. Berbagai permasalahan mulai dari isu pendanaan, kualitas
pendidikan dan kualifikasi, sampai isu akses pendidikan vokasi yang tidak
merata dan penuh dengan stigma negatif akan menjadi fokus dari pembahasan di
bab ini. Ketidaksetaraan akses dan kualitas dari pendidikan vokasi ini tidak
lepas dari perspektif dari pada pemangku kepentingan, baik dari pemerintah,
industri dan masyarakat mengenai siapa yang menjadi target dari pendidikan
vokasi ini dan tujuan dibuatnya rute pendidikan yang lebih ‘non-akademis’ ini.
Tentunya perspektif tersebut mempengaruhi arah kebijakan yang diambil dan proses
aplikasinya di lapangan.
Penyelenggaraan pendidikan vokasi
memerlukan pendanaan yang banyak. Dengan perubahan besar yang dilakukan oleh
pemerintah dalam meningkatkan kualitas dari pendidikan vokasi di Inggris
beberapa tahun terakhir ini, mekanisme pendanaan menjadi salah satu utama.
Untuk program apprenticeship khususnya, efektif dari bulan Mei 2017, pemerintah
memberlakukan ‘apprenticeship levy’ yang mewajibkan perusahaan besar dengan
total pengeluaran jumlah gaji sebanyak £3 juta (atau berkisar Rp 51 miliar) per
tahun untuk membayar sejenis pajak yang pada akhirnya dipakai untuk mendanai
pelatihan dan program apprenticeship.
Setelah melakukan studi banding sistem pendidikan
vokasi di berbagai negara dengan peringkat PISA yang lebih tinggi dan angka
pengangguran anak muda yang lebih rendah dari Inggris yakni Australia, Belanda,
Kanada dan Singapura, IPPR dalam kajiannya (Cook, 2013) menemukan beberapa
praktik baik yang bisa diterapkan di Inggris (dan dapat juga diadopsi di
Indonesia) untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi. Salah satunya adalah
pentingnya kepastian prospek dan kontinuitas untuk program vokasi dimana
pendidikan vokasi yang ditawarkan di tingkat pendidikan SMK dan sederajat dapat
memberikan bekal dan jaminan untuk bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya,
baik di institusi pendidikan tinggi maupun dunia kerja.
Berdasarkan data statistik yang
dikeluarkan oleh institusi WISE (Women in Science, Technology, Engineering and
Mathematics), untuk program ‘apprenticeship’, jika dibandingkan dengan tahun
2011/2012, memang ada kenaikan jumlah perempuan yang menyelesaikan program
apprenticeship di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) di
tahun 2013/ 2014 sebanyak 7.2% (WISE, 2015:13). Kenaikan ini juga tergolong
cukup tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki yang hanya naik 0.9%. Akan
tetapi jika dibuat perbandingan antara laki-laki dan perempuan, jumlah
perempuan yang menyelesaikan program apprenticeship di bidang STEM, di tahun
2013/2014, laki-laki masih mendominasi dengan 91.1% dan perempuan hanya 8.9%
(WISE, 2015:13). Rasio laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga
ditemukan pada pendidikan vokasi di institusi 14-19. Bahkan proporsi peserta
didik laki-lakinya jauh lebih tinggi di institusi ini dibandingkan dengan
ratarata sekolah lainnya. Di sekolah menengah ‘secondary schools’ di Inggris,
51% dari total peserta didik adalah laki-laki, tetapi angka ini akan naik
menjadi 68% di institusi 14-19.
Dana tambahan berupa STEM Uplift juga akan diberikan
oleh pemerintah untuk program STEM berdasarkan Sector Subject Area (SSA) yang
kerangkanya sudah dirancang oleh pihak otoritas terkait. Dana tambahan yang
diberikan adalah sebesar 40% untuk jalur tingkat 2 dan 80% untuk jalur tingkat
3 ke atas. Adapun SSA yang dapat menerima STEM Uplift ini adalah:
1. Engineering and Manufacturing Technologies (Teknik dan Teknologi
Industri)
2. Information and Communication Technology (Teknologi Informasi
dan Komunikasi)
3. Science and Mathematics (Sains dan Matematika)
4. Construction, Planning and the Built Environment (Konstruksi,
Perencanaan dan Lingkungan)
Inklusifitas
Pendidikan Vokasi di Inggris
Dunia internasional pertama kali
dikenalkan dengan istilah pendidikan inklusif melalui Pernyataan Salamanca
(UNESCO, 1994). Melalui pertemuan ini, Inggris di antara lebih dari sembilan
puluh perwakilan negara lainnya, kembali menegaskan prinsip “Education for All”
dan berkomitmen untuk mengajak sekolah-sekolah dalam memberikan fasilitas
pendidikan terhadap seluruh individu, tanpa memandang karakteristik khusus yang
mereka miliki. Sejak ikut meratifikasi perjanjian ini, Inggris, terkhusus
Inggris dan Wales yang memiliki sistem pendidikan serupa, semakin
mengeksplorasi dan membuat kebijakan untuk mengakomodasi para individu
berkebutuhan khusus. Adapun produk terbaru dan yang paling dijadikan acuan
utama oleh para praktisi pendidikan di bidang pendidikan khusus dan inklusif
adalah Special Educational Needs and Disability Code of Practice 2015.
layanan pendidikan inklusif masih
memiliki status yang cukup ambigu dan kompleks, sehingga penentuan kebijakan
untuk isu ini pun bukan merupakan hal yang mudah. Inggris memiliki beragam
kebijakan dan panduan untuk pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, khususnya
dalam kaitannya dengan pendidikan kejuruan. SEND Code of Practice 2015
merupakan pedoman paling utama sebagai acuan segala jenis turunan panduan dalam
memberikan layanan pendidikan para IBK. Dari pedoman ini, terdapat beragam
panduan praktis lainnya yang dapat memudahkan sekolah-sekolah dan LEAs dalam
menjalankan butir-butir yang diusung di SEND CoP 2015 tersebut.
Konsep
dan Implementasi Public Private Partnership pada Pendidikan Vokasi
Dalam pengelolaan pendidikan,
pemerintah umumnya menghadapi dua tantangan. Di satu sisi harus memperluas
akses pendidikan dan di sisi lain harus meningkatkan kualitas lulusan
(LaRocque, 2008: p.6). Pertama, pendidikan yang disediakan oleh institusi
swasta umumnya mengalami perkembangan yang pesat karena kemudahan dan
keberanian berinovasi. Namun, jangkauan pendidikan swasta masih terbatas di
kotakota besar. Sementara, pendidikan yang disediakan pemerintah, yang aksesnya
lebih luas hingga ke area terpelosok, kualitasnya cenderung tertinggal dan
lambat melakukan inovasi. Kedua, di samping masalah kesenjangan akses
pendidikan, juga terjadi kesenjangan antara lembaga pendidikan dan dunia usaha.
Lulusan yang dihasilkan lembaga pendidikan seringkali kurang sesuai dengan
tuntutan industri. Dampaknya, semakin banyak lulusan yang tidak terserap oleh
bursa tenaga kerja. Oleh karena itu, salah satu upaya pemerintah untuk
memperluas akses dan kualitas pendidikan adalah dengan melakukan kerjasama
dengan pihak swasta, yang sering disebut sebagai program Kemitraan Pemerintah
Swasta (Public Private Partnership, PPP). Kemitraan antara pemerintah dan
swasta diharapkan dapat memperbaiki kualitas pendidikan dan mengetahui keterampilan
yang dibutuhkan oleh dunia usaha (Gondinet & Gouchon, 2014: p.4)
Pemerintah berperan dalam
menentukan lingkup kerja sama; membuat prioritas, target, dan hasil; dan
menyusun standar pengukuran kinerja bagi pengelola PPP. Sedangkan pihak swasta
berperan dalam mencapai tujuan PPP, yaitu memberikan nilai tambah bagi
pemerintah (LaRocque, 2008, p.8). Inggris merupakan negara yang memiliki nilai
proyek PPP terbesar di Eropa untuk tahun 2012. Pemerintah Inggris menggunakan
PPP untuk membiayai pembangunan banyak sektor: transportasi, pendidikan,
kesehatan, dan kantor-kantor pemerintah (Hall, 2015: p.8-9). Menurut Vertakova
dan Plotnikov (2014: p.28), sektor pendidikan di Inggris menempati urutan
ketiga dalam implementasi PPP berdasarkan jumlah pembiayaan. Jumlah pembiayaan
proyek PPP di Inggris mengalami pertumbuhan yang stabil. Pada tahun 2003
berjumlah £373 juta, kemudian £ 575 juta (2004), £1.146 juta (2005), dan pada
tahun 2008 berjumlah £2,076 juta (Deloitte, 2008). Dalam lima tahun tingkat
pertumbuhannya melebihi 550%. Setelah tahun 2008 pembiayaan PPP di bidang
pendidikan mengalami penurunan akibat krisis keuangan dunia. Namun, penurunan
tersebut tidak signifikan.
Pendidikan vokasi yang baik adalah
elemen dasar dalam ekonomi pembelajaran (learning economy) dan memiliki peran
penting untuk menumbuhkan inovasi suatu masyarakat (Heemskerk & Zeitlin,
2014: p.2). Agar efektif, pendidikan vokasi membutuhkan pengajar yang kompeten,
infrastruktur yang memadai, sumber daya pendukung yang mencukupi, dan kurikulum
yang relevan dengan dunia usaha. Apabila semua kebutuhan tersebut terpenuhi,
maka para siswa akan dapat belajar dengan efektif. Lembaga pendidikan vokasi
akan dapat menghasilkan lulusan dengan keterampilan kerja yang handal dan
sesuai dengan kebutuhan industri. Dampaknya, tenaga kerja menjadi produktif dan
berkontribusi dalam perekonomian negara. Pemerintah Inggris terus berupaya agar
layanan pendidikan vokasi yang disediakan oleh lembaga pendidikan di Inggris
dapat ditingkatkan jumlahnya, baik untuk pengguna jasa di dalam negeri maupun
luar negeri (AoC, 2012: p.4). Di sektor
pendidikan tinggi, partnership antara perguruan tinggi dan institusi bisnis di
Inggris sangat erat kaitannya dengan perluasan fungsi pendidikan. Perguruan
tinggi tidak hanya menyediakan pelatihan bagi ilmuwan dan melakukan penelitian,
tetapi juga membantu pembentukan usaha kecil. Pemerintah mempromosikan
partnership antara perguruan tinggi dan institusi bisnis dengan tujuan untuk
menciptakan diversifikasi sumber pembiayaan pendidikan, mengembangkan potensi
inovasi, dan meningkatkan daya saing negara. Pembangunan berkelanjutan yang
dijalankan pemerintah Inggris memberikan prioritas pada peningkatan daya saing
dan investasi di bidang pendidikan. Pemerintah dan swasta bersama-sama meningkatkan
investasi dalam pendidikan melalui berbagai pendekatan (Vertakova dan
Plotnikov, 2014).
Program revitalisasi pendidikan vokasi (khususnya
SMK) yang dijalankan pemerintah Indonesia antara lain dilakukan melalui program
PPP dengan melibatkan Dunia Usaha dan Industri (DUDI). Secara umum, pelaksanaan
program PPP untuk pendidikan vokasi di Indonesia mencakup dua bidang inti yaitu
pengembangan lembaga/infrastruktur sekolah, dan pelibatan DUDI. Pertama,
program partnership untuk pengembangan lembaga/infrastruktur. Program ini
merupakan kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan industri untuk membangun
infrastruktur pendidikan vokasi. Sampai tahun 2020, pemerintah memiliki target
untuk membangun 400 SMK baru dan 16.000 ruang kelas baru untuk menampung
tambahan 850 ribu siswa baru (Kemendikbud, 2016a).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar